Konon, menurut sahibul hikayat sains, Benjamin Franklin, suka bermain layang-layang. Suatu saat ia iseng betul dan ingin menjajal layang-layangnya untuk menangkap petir. Tahun 1752, bersama anaknya yang berusia 21 tahun ia melakukan percobaan menangkap petir untuk membuktikan kalau petir itu listrik. Dalam percobaannya mereka memasang kunci logam di pangkal benang layang-layang yang ia pegang. Benang dengan tali yang dilumuri serbuk besipun ia gunakan. Bapak dan ank pun nekat, bermain layang-layang ketika petir menyambar dan hujan turun. Dan ajaib, petir memang menyambar layang-layangnya, arus listrik pun mengalir menuju pangkal benang dimana kunci berada maka itulah saat ia mengetahui cara menangkap petir dan kelak akan melahirkan pengetahuan baru tentang kelistrikan.
Di Jawa, ada juga sosok mirip Benjamin Franklin. Namanya Ki Ageng Selo yang sakti. Beliau adalah tokoh ulama dari daerah Selo (Kabupaten Grobogan, Jateng). Ia terkenal sebagai penangkap petir juga. Cuma berbeda dengan kisah Benjamin Franklin yang dengan jelas memaparkan bagaimana caranya, Ki Ageng Selo dikisahkan begitu saja. Yang jelas ia disebut-sebut sebagai keturunan Majapahit dan kelak menurunkan raja-raja Mataram pasca Majapahit.
Konon pula menurut kisahnya Ki Ageng Selo yang sakti karena laku lampahnya saat itu sedang nyawah ketika petir menyambar dan ditangkapnya. Tentu saja, tangkapan Ki Ageng Selo dikarakterisasikan sebagai wujud sesorang , yaitu sosok kakek-kakek. Cuma tidak dikisahkan labih jauh si kakek ini diapain selain jadi tontonan di alun-alun Demak. Mungkin masyarakat saat itu kurang hiburan atau memang hanya iseng saja, yang jelas tak ada informasi apapun tentang petir yang ditangkap itu sampai datang nenek-nenek membawa air kendi yang akhirnya melenyapkan pasangan kakek-nenek petir atau disebut Bledheg itu.
Dua genre kisah penangkap petir itu mewakili dua sisi dunia, dua sisi pemikiran, otak kanan dan kiri, rasionalitas dan irrasionalitas serta polaritas bertentangan lainnya. Yang pertama populer di dunia ilmuwan sebagai kisah Benjamin Franklin yang menjadi awal sains Atmospheric Electricity hingga lahir pembangkit-pembangkit listrik modern. Yang kedua, menjadi legenda di masyarakat Jawa tentang kesaktian Ki Ageng Selo yang menangkap petir dan menjadi tontonan saja. Singkat kata, sampai hari ini kisah petir dan sambarannya yang membuat orang sakti masih ada dan memilih sosok bocah Ponari dengan batu petirnya. Ponari yang di Internet diplesetkan menjadi merek seloroh minuman ampuh Ponari Sweat seolah menjadi bukti kedigjayaan kesaktian Ki Ageng Selo di masa lalu. Kali ini, batu petir Ponari tidak dicuekin tapi dimanfaatkan dengan anggapan dapat menyembuhkan 1001 macam penyakit, tapi juga jangan lupa sekaligus memperkuat sakit mental kejiwaan kalangan masyarakat bawah yang setengah putus asa.
Dua kisah tentang petir itu menunjukkan dua cara manusia mendekati alam, mengenalinya, memanfaatkannya, dan masing-masing kemudian menafsirkannya. Namun, ada satu kelemahan pokok dalam kisah Ki Ageng Selo maupun Kisah Ponari Sweat, yaitu tidak adanya gambaran jelas tentang bagaimana Petir itu ditangkap dan bagaimana dimanfaatkan dan bisa bermanfaat?
Hal ini merupakan ciri khas dari legenda-legenda Nusantara yang nampaknya mempengaruhi mentalitas suku-suku bangsa Indonesia secara umum. Khususnya yang hidup di Jawa yaitu mengabaikan Metodologi dan Proses bagaimana untuk menjadi. Dengan kata lain, suku bangsa Indonesia umumnya telah kehilang ilmu Kun Fa Yakuun yang benar dimana didalamnya terdapat proses dengan dukungan Shirothool Mustaqiim (ilmu, model dan metodologinya), tapi malah terjebak dalam Kun Fa Yakuun yang aneh bin ajaib. Walhasil, kecondongan terhipnotis “keajaiban” ini menimbulkan sifat keinginan serba instan yang sadar atau tidak menjadi pembentuk kepribadian yang akut yang melahirkan kepasrahan dan keputusasaan sehingga apapun menjadi sandaran. Bahkan air comberan pun menjadi sandaran. Ibarat lagu Iwan Fals, mendatangi Ponari maka masyarakat pun menjadi sakaw “sehingga tai kucing pun berasa coklat”.
Fenomena Ponari, Dewi Setyowati, SMS ramal meramal, Jamur Raksasa, atau yang lainnya, yang umumnya berkembang di wilayah Jawa nampaknya berakar kuat dari legenda lokal yang kurang lengkap. Atau memang kabur akibat komunikasi yang kurang pas. Pada akhirnya ini membangun karakter masyarakat, terutama masyarakat awam di lapisan bawah yang nampaknya sampai hari ini kurang menyentuh maupun disentuh oleh pendidikan yang layak. Baik pendidikan lahir di bangku sekolah formal maupun pendidikan batin yang mestinya mendukung pendidikan formal. Apalagi dukungan yang berhubungan dengan jaminan kesehatan yang layak dan berkualitas.
Walhasil, masyarakat bawah pun masih tetap tereksploitasi oleh kisah-kisah dan kenyataan yang tidak mempunyai pijakan berupa jembatan lurus Shirothool Mustaqiim yang mestinya mampu menghubungkan potensi diri, lingkungannya dan kenyataaan hidup yang dihadapi, serta tidak adanya jembatan untuk menggapai impian mereka sendiri yaitu hidup yang sejahtera, layak, aman, sehat, baik sehat raganya maupun jiwanya.
Ini merupakan kegagalan mencolok dari sistem pendidikan (lahir dan batin, formal maupun agamis) maupun kesejahteraan manusia Indonesia, terutama di lapisan terbawah, yang nampaknya masih akan terus ada selama kita sendiri masih bergulat dalam kepentingan-kepentingan pribadi hingga melalaikan sarana maupun prasarana serta tidak memperkuat model dan metodologi yang diperlukan oleh mereka untuk meraih hidup layak. Hidup layak yang mungkin dipikiran mereka hari ini hanya sebatas bisa dinikmati sebagai hiburan semata dari gemerlap sinetron maupun iklan-iklan yang menampilkan kesejahteraan semu. Tanpa tahu betul kalau itu mungkin cuma sinetron atau iklan semata dan tidak sama dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Namun, apa pun yang terjadi memang harus terjadi, ketika mimpi instan itu mencuat kepermukaan melalui Ponari maka gegerlah bangsa ini tanpa mau menelaah lebih jauh sebenarnya apa dan bagaimananya? Jika cara menyelesaikan fenomena Ponari Sweat masih tidak berubah, dalam arti benar-benar tidak didekati dengan cara yang lebih metodis maka mungkin memang suku bangsa Indonesia ini akan tetap tidak mempunyai metodologi untuk membangun masyarakatnya sendiri kecuali hanya sekedar menjadi bangsa Inlander yang suka dipuji-puji padahal mungkin pujian itu racun yang mematikan, dan tidak punya metodologi bagi masyarakat umum kecuali HANYA bagi mereka yang mampu bayar dengan harga tinggi semata untuk kelak dijebloskan ke dalam bagian masyakakat rumah miring yang disebut Indonesia.
Lima Cara Menguji Kehebatan Batu Bertuah atau Sejenisnya
Ada cara yang gampang sebenarnya untuk menguji apakah pengobatan alternatif ala Ponari ataupun model lainnya yang bersandar pada tuah suatu benda benar-benar pengobatan yang manjur.
1. Pertama, coba sita saja batu petir Ponari atau semacamnya dan biarkan selama 2 minggu apakah orang masih berduyun-duyun berobat atau tidak.
2. Kedua, setelah itu cobakan juga selama seminggu memberikan batu Petir itu ke orang lain yang tidak mempunyai apa-apa. Apakah batu petir itu masih manjur atau tidak.
3. Ketiga, sekarang cobakan satu minggu batu petir itu dipegang oleh seorang artis cantik, misalnya Luna Maya. Kita lihat apakah Luna Maya mampu menyembuhkan atau tidak.
4. Keempat, makan jengkol sebanyak-banyaknya lantas kencingi batu petir itu dan berikan ke Ponari lagi apakah masih ampuh atau tidak.
5. Kelima, pantau saja apakah memang sakit si pasien itu sembuh atau gejala psikis saja karena malu maka mengaku-aku sembuh. Peribahasanya, satu guru satu ilmu sama-sama ketipu jadi mantuk-mantuk saja biar orang lain juga ketipu.
Nah, kalau kelima cara pengujian itu menunjukkan gejala yang sama dimana orang masih percaya kalau batu atau benda itu ampuh, maka ini lampu merah bagi pemerintah karena kemungkinan ada kegagalan total di masyarakat yang berhubungan dengan program pendidikan, kesehatan, dan keagamaan.
20-2-2009, atmnd11051965 at http://www.atmonadi.com
0 comments: on "EARTH AND ATMOSPHERIC ELECTRICITY : Dari Benjamin Franklin, Ki Ageng Selo, PLN, Hingga Ponari Sweat"
Posting Komentar